banner 728x250

Elegi Seratus Hari Menjelang Pra-Krisis Legitimasi Diskresi, Restrukturisasi Kekuasaan, dan Ujian Kejujuran Pemerintahan Tulungagung

banner 120x600
banner 468x60

Oleh: Adv. Eko Puguh Prasetijo, S.H., M.H., CPM., CPCLE., CPArb., CPL

Hebat. Dasyat. Tegas. Tajam.
Begitulah biasanya kekuasaan merayakan dirinya sendiri ketika keputusan besar dijatuhkan dengan kecepatan yang nyaris tanpa jeda, khususnya saat merombak barisan para pembantu pemerintahan. Dalam politik pemerintahan daerah, langkah semacam ini kerap dipuja sebagai simbol kepemimpinan kuat: berani mengambil risiko, tidak gamang, dan seolah tak membutuhkan penjelasan.

banner 325x300

Namun negara hukum tidak pernah hidup dari sorak sorai awal. Ia hanya percaya pada satu hal: ketahanan legitimasi setelah euforia kekuasaan memudar.¹ Kekuasaan boleh bergerak cepat, tetapi legitimasi hanya tumbuh dari rasionalitas, etika, dan hasil yang dapat dirasakan publik.

Diskresi, dalam doktrin hukum administrasi negara, bukanlah mahkota supremasi pejabat, melainkan pengakuan jujur atas keterbatasan hukum tertulis. Utrecht menyebutnya sebagai kebebasan yang selalu dibayangi tanggung jawab berat.² Setiap diskresi membawa dua kemungkinan ekstrem: ia dapat menjadi jalan penyelamat administrasi, atau menjelma luka struktural yang pelan namun mematikan.

Keputusan Bupati Tulungagung untuk merestrukturisasi lingkar pembantunya adalah keputusan besar yang membuka dua jalan sejarah. Secara politik, ia bisa dibaca sebagai ikhtiar pembaruan. Namun secara hukum dan etika, keputusan ini menuntut standar yang jauh lebih tinggi: kesetiaan pada norma, kecermatan prosedural, serta kejujuran tujuan yang tidak boleh ditawar.

Hans Kelsen mengingatkan bahwa validitas setiap keputusan publik selalu bergantung pada kesetiaannya pada norma yang lebih tinggi.³ Keputusan yang melompati tahapan mungkin tampak efektif, tetapi efektivitas semu semacam itu dibayar mahal dengan rapuhnya legitimasi.

Di tengah pusaran ini, Soeroto sebagai Pelaksana Harian Sekretaris Daerah berdiri di panggung ujian yang paling telanjang. Jabatan Plh bukan ruang aman, melainkan arena pembuktian tanpa jeda. Tidak ada romantisme jabatan sementara. Yang ada hanyalah tuntutan prestasi instan, terukur, dan dapat dirasakan publik.

Jika dalam seratus hari birokrasi menjadi lebih tertib, pelayanan publik bergerak lebih cepat, dan aparatur bekerja tanpa ketakutan, legitimasi kebijakan akan menguat dengan sendirinya. Namun jika yang lahir justru kebingungan, stagnasi, dan kecemasan internal, maka jabatan ini akan tercatat sebagai cermin jujur kegagalan kebijakan di hulu.

Seratus hari ke depan adalah tenggat etik yang tidak bisa ditawar. Indroharto menyebut waktu sebagai alat uji paling jujur dalam hukum administrasi.⁴ Ketika pemerintah lebih sibuk membangun narasi daripada menghasilkan capaian, publik berhak menyimpulkan bahwa pra-krisis legitimasi sedang dimulai.

Tulisan ini bukan seruan perlawanan. Ia adalah peringatan akademik. Dalam negara hukum, waktu adalah hakim paling adil—dan ia tidak pernah bisa dibujuk oleh retorika.

Panggung Ujian Plh Sekda: Politik Birokrasi Tanpa Ampun

Di tengah pusaran ini, Soeroto—sebagai Pelaksana Harian Sekretaris Daerah—tidak lagi sekadar berdiri, melainkan diseret masuk ke arena paling kejam dalam politik birokrasi: arena di mana waktu menjadi algojo dan kinerja adalah satu-satunya pembelaan. Jabatan Plh bukan jeda administratif, melainkan perintah diam-diam untuk segera membuktikan apakah restrukturisasi ini lahir dari nalar negara atau sekadar kalkulasi kekuasaan. Tidak ada toleransi bagi retorika, tidak ada ruang aman bagi adaptasi yang berlarut. Birokrasi menunggu komando yang menertibkan, publik menagih hasil yang terasa, dan kekuasaan diuji pada satu titik yang tak bisa dihindari: apakah dalam seratus hari ini sistem menjadi lebih rasional atau justru makin tunduk pada loyalitas personal. Sebagaimana diingatkan Max Weber, birokrasi modern hanya bermartabat jika ia rasional, impersonal, dan bebas dari patronase; ketika syarat ini runtuh, negara berubah menjadi panggung kehendak, bukan institusi hukum. Maka penantian seratus hari ke depan bukan sekadar hitung mundur administratif—ia adalah detik-detik menuju vonis legitimasi, yang akan menjawab tanpa basa-basi: ini reformasi birokrasi, atau hanya penundaan krisis kepercayaan.

Catatan Kaki

1. A.V. Dicey, Introduction to the Study of the Law of the Constitution, 10th ed., Macmillan, 1959, hlm. 188–193.
2. E. Utrecht, Pengantar Hukum Administrasi Negara, Ichtiar Baru, 1986, hlm. 109–113.
3. Hans Kelsen, Pure Theory of Law, University of California Press, 1967, hlm. 221–229.
4. Indroharto, Usaha Memahami UU PTUN, Pustaka Sinar Harapan, 1993, hlm. 101–107.
5. Jürgen Habermas, Between Facts and Norms, MIT Press, 1996, hlm. 287–294.
6. Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, RajaGrafindo Persada, 2018, hlm. 278–285.
7. Philipus M. Hadjon, Hukum Administrasi dan Good Governance, Trisakti, 2010, hlm. 52–60.
8. Jimly Asshiddiqie, Etika Kekuasaan dan Konstitusionalisme, Konstitusi Press, 2016, hlm. 39–45.
9. Max Weber, Economy and Society, University of California Press, 1978, hlm. 956–963.
10. Agus Dwiyanto, Reformasi Birokrasi Publik di Indonesia, UGM Press, 2011, hlm. 67–74.
11. Lon L. Fuller, The Morality of Law, Yale University Press, 1969, hlm. 33–38.
12. B. Guy Peters, The Politics of Bureaucracy, Routledge, 2010, hlm. 121–129.
13. Jerry L. Mashaw, Greed, Chaos, and Governance, Yale University Press, 1997, hlm. 83–90.
14. OECD, Public Governance Reviews, OECD Publishing, 2015, hlm. 19–27.
15. UNDP, Democratic Governance and Accountability, UNDP, 2012, hlm. 41–48.

 

EKO PUGUH – rorokembang

Catatan Redaksi: Apabila ada pihak yang merasa dirugikan dan/atau keberatan dengan penayangan artikel dan/atau berita tersebut di atas, Anda dapat mengirimkan artikel dan/atau berita berisi sanggahan dan/atau koreksi kepada Redaksi kami,sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (11) dan (12)Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers. Artikel/berita dimaksud dapat dikirimkan melalui email: trikaryabangkit@gmail.com atau WA +6287788410108 Terima kasih

banner 325x300

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *