BOP Kinerja Pendidikan Kesetaraan, PKBM Tidak Layak, dan Peringatan Negara Hukum
Oleh:
Adv. Eko Puguh Prasetijo, S.H., M.H., CPM., CPCLE., CPArb., CPL
Pimpinan Redaksi rorokembang.com
Negara hukum tidak pernah runtuh secara tiba-tiba. Ia lapuk perlahan ketika data tidak lagi diverifikasi, standar tidak lagi ditegakkan, dan pengawasan direduksi menjadi formalitas administratif. Negara tidak runtuh karena satu pelanggaran besar, melainkan karena pembiaran kecil yang dibiarkan berulang dan akhirnya dianggap biasa. Di titik inilah hukum kehilangan wibawanya, uang publik mulai kehilangan arah, dan kebijakan kehilangan legitimasi.
Penyaluran Bantuan Operasional Penyelenggaraan (BOP) Kinerja Pendidikan Kesetaraan sejatinya adalah kontrak hukum antara negara dan satuan pendidikan nonformal. Negara hanya bersedia membayar kinerja yang nyata, terukur, dan patuh standar. Karena itu, ketika bantuan berbasis kinerja justru diberikan kepada satuan pendidikan yang secara faktual diduga tidak memenuhi syarat, persoalannya tidak lagi berhenti pada kesalahan penerima. Yang dipertaruhkan adalah integritas sistem negara yang membiarkannya terjadi, dan pada titik tersebut negara sesungguhnya sedang berdiri di ambang pra-krisis tata kelola.
Persoalan ini tidak boleh dipersempit sebagai kekeliruan teknis. Ini adalah soal kepatuhan hukum. Standar Nasional Pendidikan diatur secara tegas dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Ketika standar tersebut diabaikan, maka kebijakan turunannya kehilangan dasar hukum, dan setiap pembenaran administratif berubah menjadi rasionalisasi atas pelanggaran norma.
Dalam konteks pengelolaan keuangan negara, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 menegaskan bahwa setiap rupiah uang publik harus dikelola secara tertib, taat peraturan, efektif, efisien, transparan, dan bertanggung jawab. Penyaluran dana yang bertumpu pada data yang tidak diverifikasi secara faktual dengan sendirinya berpotensi melanggar asas-asas tersebut, sekaligus menggerus prinsip akuntabilitas yang menjadi fondasi keuangan negara.
Lebih jauh, apabila data yang digunakan sebagai dasar pencairan dana negara terbukti tidak sesuai fakta, maka secara normatif peristiwa tersebut dapat diuji dalam perspektif Pasal 3 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang mengatur penyalahgunaan kewenangan yang berpotensi merugikan keuangan negara. Ancaman pidana dalam pasal ini tidak dikemukakan sebagai tuduhan, melainkan sebagai peringatan normatif bahwa hukum menyediakan konsekuensi tegas bagi setiap pengelolaan dana publik yang menyimpang dari kebenaran dan kepatuhan.
Selain itu, Pasal 9 Undang-Undang Tipikor mengatur sanksi pidana terhadap perbuatan yang dengan sengaja menyajikan data tidak benar dalam pengelolaan keuangan negara. Editorial ini tidak menuduh terjadinya tindak pidana. Namun dalam negara hukum, pasal-pasal tersebut wajib dibaca sebagai alarm dini, bukan diabaikan hingga krisis benar-benar meledak dan terlambat untuk dikoreksi.
Di sisi administrasi pemerintahan, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 menegaskan kewajiban pejabat pemerintahan untuk bertindak cermat, tidak menyalahgunakan kewenangan, serta menjalankan asas-asas umum pemerintahan yang baik. Pembiaran terhadap satuan pendidikan yang tidak layak, apabila terjadi, merupakan kegagalan administratif yang tidak dapat ditutupi oleh dalih sistem, prosedur, atau keterbatasan teknis.
Editorial ini dengan sengaja tidak menyebut nama. Karena yang diuji bukan individu, melainkan sistem. Namun sistem yang dibiarkan menyimpang akan selalu mencari kambing hitam ketika krisis datang. Padahal akar persoalannya sederhana dan berulang: verifikasi yang tidak dilakukan, koreksi yang dihindari, dan keberanian menegakkan standar yang absen.
Jika negara terus membiarkan data menjadi pengganti kebenaran, maka BOP Kinerja akan kehilangan makna nasionalnya. Lebih buruk lagi, publik akan kehilangan kepercayaan bahwa uang mereka benar-benar kembali dalam bentuk layanan pendidikan yang bermutu dan berkeadilan.
Editorial ini adalah peringatan pra-krisis. Bukan vonis, bukan tuduhan. Negara masih memiliki kesempatan untuk memperbaiki arah: membuka data secara jujur, melakukan verifikasi ulang, dan menegakkan standar tanpa kompromi. Namun jika kesempatan ini diabaikan, pertanyaan publik akan bergeser dari “apa yang salah?” menjadi “siapa yang bertanggung jawab?”. Pada titik itu, hukum tidak lagi berbicara dalam bahasa editorial, melainkan dalam bahasa konsekuensi.
Karena dalam negara hukum, krisis bukanlah peristiwa yang datang tiba-tiba. Krisis adalah hasil dari pembiaran yang terlalu lama dianggap wajar.
Pada titik krusial ketika dana APBN telah ditransfer dan masuk ke rekening PKBM, tanggung jawab hukum tidak serta-merta berhenti pada penerima. Justru pada fase inilah tanggung jawab Dinas Pendidikan sebagai perangkat daerah menjadi paling menentukan. Dinas tidak hanya berperan sebagai fasilitator administratif, melainkan sebagai penanggung jawab pengawasan substantif atas penggunaan uang negara. Dalam kerangka hukum administrasi, turunnya dana APBN memicu kewajiban aktif bagi dinas untuk memastikan kesesuaian antara laporan kinerja, kondisi faktual lapangan, dan tujuan anggaran yang telah ditetapkan. Pembiaran setelah pencairan bukan sikap netral, melainkan kegagalan menjalankan kewenangan pengawasan yang dilekatkan oleh hukum.
Untuk mencegah terjadinya pembiaran sistemik, pengawasan BOP Kinerja harus dibangun melalui model pengawasan yang cermat dan komprehensif. Pertama, pengawasan ex ante, yakni verifikasi faktual sebelum penetapan dan pencairan, dengan memastikan bahwa data DAPODIK, kondisi sarana prasarana, proses pembelajaran, dan capaian kelulusan benar-benar sesuai dengan standar. Kedua, pengawasan on going, yaitu pemantauan aktif saat dana telah digunakan, melalui inspeksi lapangan berbasis risiko, audit tematik, dan kewajiban pelaporan periodik yang dapat diuji silang. Ketiga, pengawasan ex post, berupa evaluasi pasca-pelaksanaan yang berujung pada koreksi administratif, penghentian bantuan lanjutan, atau rekomendasi sanksi administratif apabila ditemukan penyimpangan.
Model pengawasan berlapis tersebut bukan sekadar pilihan kebijakan, melainkan konsekuensi logis dari prinsip akuntabilitas, kecermatan, dan tanggung jawab pejabat pemerintahan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Administrasi Pemerintahan dan Undang-Undang Keuangan Negara. Tanpa pengawasan yang aktif, terukur, dan berkelanjutan, penyaluran BOP Kinerja akan terus terjebak pada formalitas administratif, sementara negara menanggung seluruh risiko hukum, keuangan, dan legitimasi di hadapan publik.
EKO PUGUH – rorokembang.com
Catatan Redaksi: Apabila ada pihak yang merasa dirugikan dan/atau keberatan dengan penayangan artikel dan/atau berita tersebut di atas, Anda dapat mengirimkan artikel dan/atau berita berisi sanggahan dan/atau koreksi kepada Redaksi kami,sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (11) dan (12)Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers. Artikel/berita dimaksud dapat dikirimkan melalui email: trikaryabangkit@gmail.com atau WA +6287788410108 Terima kasih.

















